Total Tayangan Halaman

Minggu, 20 Februari 2011

SAM IKUL

Sam Ikul : Sudahkah Kalian Sujud Syukur ? Juara Bukan Akhir Tapi Sebuah Cobaan




Arema Indonesia menjadi yang terbaik di kasta tertinggi sepakbola Indonesia musim kompetisi 2009/10. Mulai gelar juara liga, pemain terbaik, MC terbaik, hingga Panpel terbaik diraih oleh Arema.
Namun dibalik gemuruh dan kegembiraan Aremania melepas dahaga gelar juara liga sejak era Galatama, ada kejadian memilukan yang menimpa Lucky Acub Zaenal, pendiri PS Arema waktu itu.
Dalam setiap pertandingan Arema, terutama di Stadion Kanjuruhan, Sam Ikul -sapaan akrabnya- meskipun mengalami gangguan pada indera penglihatannya namun selalu datang bersama isterinya Novi dan dua anaknya.
Pada laga Perang Bintang Arema vs ISL All Star hari Minggu kemarin, Sam Ikul “dipaksa” tidak duduk di kursi undangan sebagaimana biasanya karena disuruh pindah oleh panitia yang juga menjamu Menteri Andi Mallarangeng, dan Ketua Umum PSSI, Nurdin Halid.
Setelah “diusir” dari kursi undangan, Lucky dan istrinya sempat duduk di undak-undakan di antara deretan kursi, bercampur dengan para suporter dan wartawan.
Hal ini sempat memicu rasa iba para wartawan yang langsung menawarinya duduk di kursi yang lebih layak. CEO PT Liga Indonesia Joko Driyono maupun Nugraha Besoes yang mengetahui hal itu kemudian membujuk agar Sam Ikul mau kembali duduk di kursi undangan. Namun akhirnya Sam Ikul menggandeng istrinya keluar meninggalkan stadion meskipun pertandingan baru berjalan beberapa menit.
Media officer Arema Indonesia, Sudarmaji, seperti dilansir Suara Merdeka mengatakan, pertandingan Perang Bintang semuanya ditangani oleh BLI. “Jadi manajemen Arema sendiri tidak tahu menahu masalah tersebut,”
“Saya hanya dapat free pass seperti biasanya dan saya pun duduk di kursi yang biasanya,” jelas Sam Ikul di rumahnya pada Minggu malam.
“Saya hanya orang biasa, bukan pejabat, bagi saya itu terlalu jauh. Hari ini memang harinya pejabat. Saya tidak apa-apa duduk di sini (kursi wartawan), yang penting semua Aremania bahagia,”
“Saya tidak butuh pengakuan atau apa pun, tapi jangan dipermalukan seperti itu. Orang ‘lupa’ masih lebih baik daripada mempermalukan,”
“Saya sudah beberapa kali diperlakukan seperti ini dan sudah cukup sampai di sini saja. Janganlah saya dan keluarga dipermalukan,”
“Sekarang saya merasakan bagaimana perasaan pahlawan dan pejuang yang tidak bisa mengikuti upacara kemerdekaan, saya bisa merasakan bagaimana perasaan almarhum ayah saya yang pernah marah besar karena tidak diundang ke upacara kemerdekaan,”
“Sudah cukup sampai di sini. Silahkan diartikan sendiri,”
“Saya tidak pernah ikut konvoi atau pesta-pesta yang lain. Saya hanya sekali bertemu teman-teman Aremania yang konvoi, itupun saat perjalanan lewat di depan Stasiun Kotabaru,”
“Mata saya memang buta, tetapi tidak dengan hati saya. Setiap datang ke Kanjuruhan saya selalu menghadirkan dan membuka hati saya, membaginya dengan semua Aremania,”
“Sejak pertama kali Arema memastikan juara di Pekanbaru, saya ingatkan kepada Aremania, sudahkah kalian sujud syukur?”
“Gelar juara ini bukan akhir, tetapi baru awal. Juara bisa juga berarti sebuah cobaan yang harus kita lalui,”
Pada Minggu malam yang telah larut itu, kapten Arema Indonesia, Pierre Njanka, datang ke rumah Sam Ikul untuk memberikan kaus Arema bernomor punggung 24 yang dipakai Njanka semalam satu musim ini.
Sebuah hadiah penuh makna dari seorang kapten yang ironisnya bukan pemain yang pertama kali mengangkat replika piala saat timnya juara di Pekanbaru.
Dan Sam Ikul pun, meski mengalami gangguan pada indera penglihatannya, tampak berkaca-kaca saat memeluk Njanka seraya berkata lirih, “Terima kasih Njanka, kamu adalah seorang juara,” (*)

YULI SUMPIL


Seperti kebanyakan pemuda kota yang tinggal di kampung padat dan miskin, Yuli gemar sepakbola dan sering terlibat tawuran (perkelahian massal) antarkampung. “Buat saya dulu tawuran adalah bagian dari sepakbola. Sepakbola nggak ada tawuran seperti sepakbola banci,” kata Yuli. Ia kemudian bercerita, beberapa tahun lalu—sebelum menjadi dirigen—bersama 30 temannya ia datang ke Jakarta untuk melihat Arema bertanding. Ia berangkat dari rumah dengan sudah menyiapkan sebilah pedang. “Waktu itu, ini perlengkapan standar,” katanya. Di Jakarta ia terlibat bentrokan dengan kelompok Bonek di depan Stasiun Pasar Senen. Mula-mula hanya saling melempar batu, tapi kemudian menjadi saling kejar, memukul dengan potongan kayu atau besi, bahkan hingga sabetan pedang. “Yang saya ingat, keesokan harinya saya baca di koran ternyata ada 3 orang Bonek yang mati. Sementara kami semua selamat,” katanya.


, film dokumenter teranyar karya Andi Bachtiar Yusuf.
The Conductors berusaha untuk mengungkap sisi lain dari Addie MS (Twilite Orchestra), AG Sudibyo (Paduan Suara Mahasiswa UI) dan Yuli “Sumpil” (Aremania), menampilkan kiat dan semangat dari anak manusia yang sangat mencintai profesinya tersebut. Film yang telah diputar pada ajang Jakarta International Film Festival (JiFFest) 2007 lalu tersebut merupakan karya dokumenter kedua pria yang lebih akrab dipanggil “Ucup” setelah The Jak (2007). Dan setelah premiere di Jakarta, akan diputar di Bandung, Malang, Semarang, Yogyakarta, Jember, Purwokerto, Pusan (Korea Selatan).
“Cita-cita saya, pagar besi pembatas tribun dengan lapangan nanti tidak perlu ada lagi. Jadi kita menonton sepakbola dengan enak, tidak ada perkelahian, tidak ada suporter yang mengganggu pemain. Saya juga ingin semua golongan bisa bersatu di sini. Kaya atau miskin, laki-laki atau perempuan, Cina atau bukan Cina, pejabat atau orang biasa, Islam atau Kristen, di sini semuanya bisa sama,”
Laki-laki muda itu sudah menjadi suporter fanatik klub sepakbola kotanya sejak masih anak-anak. Ia lahir dan tinggal di Malang, Jawa Timur, dan klub sepakbola itu bernama Arema (Arek Malang). Yuli Sugianto adalah salah satu suporter paling populer di kalangan Aremania, sebutan bagi suporter Arema. Bersama suporter Persebaya (Persatuan Sepakbola Surabaya) yang disebut Bonek (bandha nekat, modal nekat), Aremania terkenal sebagai suporter paling fanatik dalam sejarah sepakbola Indonesia.
Yuli berkisah sudah sejak anak-anak ia selalu berusaha melakukan apa saja demi menonton pertandingan Arema. Semasa duduk di bangku Sekolah Menengah Pertama (SMP) misalnya, jika tak ingin terlambat datang ke stadion, ia harus membolos sekolah sore. Dan jika pertandingan berlangsung di luar kota, itu berarti ia harus siap sejak pagi, bersiap menunggu di pinggir jalan raya, dan siap melompat ke dalam bak truk atau mobil angkutan barang lain untuk menuju kota tujuan.
Sekarang Yuli adalah dirigen Aremania. Seorang dirigen, layaknya seorang konduktor dalam pertunjukan orkestra, adalah orang yang memimpin para suporter untuk menyanyi dan menari dalam sebuah pertandingan sepakbola. Seorang dirigen menentukan lagu mana yang harus dinyanyikan dan gerakan tubuh macam apa yang mesti dilakukan. Aremania punya dua dirigen. Selain Yuli juga ada Yosep, yang biasa dipanggil Kepet.

Minggu, 13 Februari 2011

 SEJARAH BERDIRINYA AREMA

Nama Arema adalah legenda Malang. Adalah Kidung Harsawijaya yang pertama kali mencatat nama tersebut, yaitu kisah tentang Patih Kebo Arema di kala Singosari diperintah Raja Kertanegara. Prestasi Kebo Arema gilang gemilang. Ia mematahkan pemberontakan Kelana Bhayangkara seperti ditulis dalam Kidung Panji Wijayakrama hingga seluruh pemberontak hancur seperti daun dimakan ulat. Demikian pula pemberontakan Cayaraja seperti ditulis kitab Negarakretagama.
Kebo Arema pula yang menjadi penyangga politik ekspansif Kertanegara. Bersama Mahisa Anengah, Kebo Arema menaklukkan Kerajaan Pamalayu yang berpusat di Jambi. Kemudian bisa menguasai Selat Malaka. Sejarah heroik Kebo Arema memang tenggelam. Buku-buku sejarah hanya mencatat Kertanegara sebagai raja terbesar Singosari, yang pusat pemerintahannya dekat Kota Malang.
Sampai akhirnya pada dekade 1980-an muncul kembali nama Arema. Tidak tahu persis, apakah nama itu menapak tilas dari kebesaran Kebo Arema. Yang pasti, Arema merupakan penunjuk sebuah komunitas asal Malang. Arema adalah akronim dari Arek Malang.

Arema kemudian menjelma mejadi semacam “subkultur” dengan identitas, simbol dan karakter bagi masyarakat Malang. Diyakini, Arek Malang membangun reputasi dan eksistensinya di antaranya melalui musik rock dan olahraga. Selain tinju, sepakbola adalah olahraga yang menjadi jalan bagi arek malang menunjukkan reputasinya. Sehingga kelahiran tim sepakbola Arema adalah sebuah keniscayaan.
Kesebelasan Arema (Arema Football Club/Persatuan Sepakbola Arema nama resminya) lahir pada tanggal 11 Agustus 1987, dengan semangat mengembangkan persepakbolaan di Malang. Pada masa itu, tim asal Malang lainnya Persema bagai sebuah magnet bagi arek Malang. Stadion Gajayana – home base klub pemerintah itu – selalu disesaki penonton. Di mana Arema waktu itu ? Yang pasti, ia belum mengejawantah sebagai sebuah komunitas sepakbola. Ia masih jadi sebuah “utopia”.
Adalah Acub Zaenal yang kali pertama punya andil menelurkan pemikiran membentuk klub galatama. Jasa “Sang Jenderal” tidak terlepas dari peran Ovan Tobing, humas Persema saat itu. “Saya masih ingat, waktu itu Pak Acub Zaenal saya undang ke Stadion Gajayana ketika Persema lawan Perseden, Denpasar,” ujar Ovan. Melihat penonon membludak, Acub yang kala itu menjadi Administratur Galatama lantas mencetuskan keinginan mendirikan klub galatama. “You bikin saja (klub) Galatama di Malang,” kata Ovan menirukan ucapan Acub.
Beberapa hari setelah itu, Ir Lucky Acub Zaenal –putra Mayjen TNI (purn.) Acub Zaenal– mendatangi Ovan di rumahnya, Jl. Gajahmada 15. Ia diantar Dice Dirgantara yang sebelumnya sudah kenal dengan dirinya. “Waktu itu Lucky masih suka tinju dan otomotif,” katanya. Dari pembicaraan itu, Ovan menegaskan kalau dirinya tidak punya dana untuk membentuk klub galatama. “Saya hanya punya pemain,” ujarnya. Maka dipertemukanlah Lucky dengan Dirk “Derek” Sutrisno (Alm), pendiri klub Armada ‘86.
Harus diakui, awal berdirinya Arematidak lepas dari peran besar Derek dengan Armada 86-nya. Nama Arema awalnya adalah Aremada-gabungan dari Armada dan Arema. Namun nama itu tidak bisa langgeng. Beberapa bulan kemudian diganti menjadi Arema`86. Sayang, upaya Derek untuk mempertahankan klub Galatama Arema`86 banyak mengalami hambatan, bahkan tim yang diharapkan mampu berkiprah di kancah Galatama VIII itu mulai terseok-seok karena dihimpit kesulitan dana.
Dari sinilah, Acub Zaenal dan Lucky lantas mengambil alih dan berusaha menyelamatkan Arema`86 supaya tetap survive. Setelah diambil alih, nama Arema`86 akhirnya diubah menjadi Arema dan ditetapkan pula berdirinya Arema Galatama pada 11 Agustus 1987 sesuai dengan akte notaris Pramu Haryono SH–almarhum–No 58. “Penetapan tanggal 11 Agustus 1987 itu, seperti air mengalir begitu saja, tidak berdasar penetapan (pilihan) secara khusus,” ujar Ovan mengisahkan.
Hanya saja, kata Ovan, dari pendirian bulan Agustus itulah kemudian simbol Singo (Singa) muncul. “Agustus itu kan Leo atau Singo (sesuai dengan horoscop),”imbuh Ovan. Dari sinilah kemudian, Lucky dan, Ovan mulai mengotak-atik segala persiapan untuk ewujudkan obsesi berdirinya klub Galatama kebanggaan Malang. Segala tetek-bengek mulai pemain, tempat penampungan (mess pemain), lapangan sampai kostum mulai diplaning.
Bahkan, gerilya mencari pemain yang dilakukan Ovan satu bulan sebelum Arema resmi didirikan.Pemain-pemain seperti Maryanto (Persema), Jonathan (Satria Malang), Kusnadi Kamaludin (Armada), Mahdi Haris (Arseto), Jamrawi dan Yohanes Geohera (Mitra), sampai kiper Dony Latuperisa yang kala itu tengah menjalani skorsing PSSI karena kasus suap, direkrut. Pelatih sekualitas Sinyo Aliandoe, juga bergabung.
Hanya saja, masih ada kendala yakni menyangkut mess pemain. Beruntung, Lanud Abd Saleh mau membantu dan menyediakan barak prajurit Pas Khas untuk tempat penampungan pemain. Selain barak, lapangan Pagas Abd Saleh, juga dijadikan tempat berlatih. Praktis Maryanto dkk ditampung di barak. “TNI AU memberikan andil yang besar pada Arema,” papar Ovan.
Sempat ada kendala, yakni masalah dana – masalah utama yang kelak terus membelit Arema. “Kalau memang tidak ada alternatif lain, ya papimu Luk yang harus mendanai,” jelas Ovan saat mengantarnya ke Bandara Juanda. Sepulang dari Jakarta, Acub Zaenal sepakat menjadi penyandang dana.
Prestasi klub Arema bisa dibilang seperti pasang surut, walaupun tak pernah menghuni papan bawah klasemen, hampir setiap musim kompetisi Galatama Arema F.C. tak pernah konstan di jajaran papan atas klasemen, namun demikian pada tahun 1992 Arema berhasil menjadi juara Galatama. Dengan modal pemain-pemain handal seperti Aji Santoso, Micky Tata, Singgih Pitono, Jamrawi dan eks pelatih PSSI M.Basri, Arema mampu mewujudkan mimpi masyarakat kota Malang menjadi juara kompetisi elit di Indonesia.
Sejak mengikuti Liga Indonesia, Arema F.C. tercatat pernah 3 kali masuk putaran kedua atau 8 besar. Yang pertama pada musim kompetisi Liga Indonesia ke II tahun 1995 , pada musim kompetisi Liga Indonesia ke VI tahun 2000 dan musim Liga Indonesia ke VII tahun 2001, Arema kembali mengulangi suksesnya masuk putaran 8 besar yang berlangsung di Jakarta.
Walaupun berprestasi lumayan, tapi Arema tidak pernah lepas dari masalah dana. Hampir setiap musim kompetisi masalah dana ini selalu menghantui. Sehingga tak heran hampir setiap musim manajemen klub selalu berganti. Pada tahun 2003, Arema mengalami kesulitan keuangan parah yang berpengaruh pada prestasi tim. Hal tersebut yang kemudian membuat Arema FC diakuisisi kepemilikannya oleh PT Bentoel Internasional Tbk pada pertengahan musim kompetisi 2003.
Meski demikian, keberadaan Arema tetap tidak terselamatkan sehingga harus degradasi ke Divisi I. Tak lama kemudian, dengan materi dan dana dari pemilik baru, Arema berhasil menjadi juara Divisi I Liga Indonesia 2004 dan kembali berlaga di Divisi Utama pada musim kompetisi 2005.
Tahun 2008 Arema memasuki era Liga Super Indonesia yang diselenggarakan oleh PSSI dengan yang diatur oleh BLI ( Badan Liga Indonesia ), dalam kompetisi di Liga Super ini semua tim yang ikut haruslah sebagai tim yang sudah profesional. Yang menjadi penilaian dari tim profesional adalah dengan lolosnya verifikasi dari BLI. Termasuk Arema yang dari pertama di gelarnya Liga Super sudah lolos verifikasi. Arema mengakhiri Liga Super I dengan bertengger di posisi 10.
Tahun 2009 Liga Super Indonesia mulai berjalan, namun lagi lagi Arema harus mengalami kesulitan dana PT. Bentoel yang memegang Arema harus menyerahkan ke pemilikan Arema ke Yayasan Arema yang di ketuai oleh Darjoto Setiawan karena PT. Bentoel tidak bisa mendanai Arema lagi disebabkan oleh regulasi BLI yang melarang produk sejenis sponsor Liga menjadi sponsor tim. Selain itu PT. Bentoel juga mengalami perubahan kebijakan setelah di akuisisi oleh PT. British Asia Tobacco. Dalam masa sulit itu pula BLI mengeluarkan kebijakan lagi dengan mengahruskan tim Liga Super untuk menjadi tim yang berbadan hukum. Sehingga keputusan ini memaksa Arema mendaftarkan namanya menjadi PT. Arema Indonesia.
Dari Semua tim yang berlaga di Liga Super hanya Arema Indonesia lah yang menjadi tim profesional karena hanya Arema Indonesia lah yang memakai dana sepenuhnya dari swasta bukan dari APBD, sehingga Arema lebih sering dilanda masalah keuangan. Hingga saat tulisan ini ditulis Arema masih tetap Arema yang berhome base di Kota Malang tercinta dengan didukung oleh ribuan pendukung fanatiknya AREMANIA.
Salam Satu Jiwa Arema Indonesia